Senin, 30 Mei 2011

Pemanfaatan Sinar Matahari

Pikiran Rakyat, Kamis, 22 September 2005

ADA kenyataan yang sulit dibantah, setengah dari 220 juta jiwa penduduk negeri ini belum menikmati penerangan listrik. Banyak alasan yang menjadikan demikian. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah menyediakan jaringan listrik, hingga harga yang sulit terjangkau oleh warga. Sistem penerangan paling murah yang mungkin dimiliki masyarakat daerah terpencil adalah lampu cempor atau patromaks dengan bahan bakar minyak tanah.
Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun jaringan sistem kabel, PLN kini mulai menempuh cara baru, yakni mengembangkan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). PLTS lebih diperuntukkan bagi warga desa yang belum tersentuh jaringan listrik. Pertimbangannya, meski dari sisi biaya investasi masih relatif tinggi, namun jika dibandingkan dengan membangun jaringan kabel, pengembangan PLTS lebih memungkinkan.

Segala kebutuhan
Di luar negeri, pemanfaatan energi surya melalui sistem photovoltaic sudah berlangsung lama dan banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Di Indonesia, pengembangannya sudah dilakukan pada tahun 1980-an. Penerapan pertama pemanfaatan energi surya oleh Lembaga Elektronika Nasional (LEN) yang juga diresmikan oleh Presiden Soeharto di lakukan di Kec. Sukatani, Kab. Purwakarta pada 1989. Hanya, dalam perjalanannya, kebijakan pemanfaatan energi surya seperti setengah hati. Alasannya klise, skala kegiatan yang kurang ekonomis, sementara biaya investasi yang dibutuhkan sangat besar.
Ke depan, dengan kondisi topograpi wilayah yang dimiliki Indonesia, untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tampkanya akan menjadi sebuah tuntutan yang tak bisa ditawar. Selain sumber energinya (matahari) begitu melimpah sehingga pemanfaatannya tak terbatas, PLTS relatif lebih mudah dipasang dan dipelihara, ramah lingkungan, tahan lama, dan tak menimbulkan radiasi elektromagnetik yang berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, PLTS bisa digunakan untuk segala kebutuhan, seperti penerangan rumah tangga, pompa air, atau telekomunikasi.
Bukan itu saja. Berdasarkan hasil perhitungan Dr. Mulyo Widodo, dosen Teknik Mesin ITB yang juga penemu sistem penerangan listrik tenaga surya Solare, total biaya yang dikeluarkan pengguna PLTS relatif lebih murah daripada menggunakan energi listrik PLN dan lampu minyak tanah. Dengan menghitung biaya investasi awal, nilai depresiasi terhadap umur instalasi tiap tahun, dan biaya operasional per hari, rata-rata biaya per bulan yang harus dikeluarkan pengguna PLTS Solare SP-4 dengan 4 titik penerangan hanya mencapai Rp 7.000,00. Sedangkan rata-rata biaya yang harus dikeluarkan pengguna PLN 450 Watt Rp 32,083,33 per bulan dan lampu minyak tanah dengan empat titik penerangan Rp 14,133,33 per bulan.
Memang, dibandingkan dengan kualitas penerangan yang dihasilkan lampu TL, penerangan lampu LED masih kalah terang. Namun, jika dibandingkan dengan lampu cempor, lampu LED jelas lebih baik. “Lagi pula tidak seimbang membandingkan kualitas penerangan lampu LED dari PLTS dengan yang dihasilkan listrik PLN. Janganlah mengukur itu semua dengan kacamata orang kota. Lihatlah manfaatnya bagi penduduk yang puluhan tahun tak pernah menikmati penerangan listrik,” kata Mulyo.

Cukup sederhana
Cara kerja PLTS cukup sederhana. Pancaran sinar matahari ditangkap oleh sebuah panel dan diubah menjadi energi listrik. Energi itu disimpan dalam sebuah baterai (aki) yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan pada malam hari atau saat tak ada sinar matahari. Kemampuan energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah panel surya sangat bergantung kepada kondisi radiasi sinar matahari. Sistem PLTS adalah sistem arus searah (DC) sehingga peralatan yang digunakan harus disesuaikan dengan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar